Selasa, 13 Juli 2010

makalah ABK

MAKALAH
“KLASIFIKASI ANAK TUNA GRAHITA”
Disusun guna memenuhi tugas
mata kuliah Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
Dosen Pengampu : Ibu Atip Nurharin

oleh
Nama : Yuli Purwati
NIM : 1401409188
Rombel : 11

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2010
KLASIFIKASI ANAK TUNA GRAHITA

Klasifikasikan anak Tunagrahita terdiri atas beberapa kelompok. Pengelompokan pada umumnya didasarkan pada taraf intelegensinya, yang terdiri atas keterbelakangan ringan, sedang, dan berat. Kemampuan intelegensi anak Tunagrahita kebanyakan diukur dengan Tes Stanford Binet dan Skala Weschler (WISC) (Somantri, 2006:106-108).


Tunagrahita Ringan
Tunagrahita ringan disebut juga maron atau debil.
Memiliki IQ antara 68-52 pada skala Binet, memiliki IQ antara 69-55 menurut skala WISC.
Mampu belajar membaca, menulis, dan berhitung sederhana.
peternakan, pekerjaan rumah tangga, dan pekerja pabrik dengan sedikit pengawasan.
Pada umumnya tidak mengalami gangguan fisik (tampak seperti anak normal) dan lebih mudah diajak berkomunikasi


Tunagrahita Sedang
Tunagrahita sedang disebut juga imbesil.
Memiliki IQ antara 51-36 pada skala Binet, memiliki IQ antara 54-40 menurut skala WISC.
Mampu mengurus diri sendiri, melindungi diri sendiri dari bahaya seperti menghindari kebakaran, berjalan di jalan raya, berlindung dari hujan, dan sebagainya.
Sangat sulit bahkan tidak dapat belajar secara akademik seperti membaca, menulis, dan berhitung sederhana.
Mampu menulis secara sosial, misalnya menulis nama sendiri dan alamat rumah.
Membutuhkan pengawasan yang terus menerus.
Dapat bekerja di tempat kerja terlindung.


Tunagrahita Berat
Tunagrahita berat sering disebut idiot.
Tunagrahita berat (severe) memiliki IQ antara 32-20 menurut skala Binet, memilki IQ antara 39-25 menurut skala WISC.
Memerlukan perawatan secara total dalam kehidupan sehari-hari seperti peraawatan diri,makan, mandi, bahkan dari ancaman bahaya... Hal ini berlaku seumur hidup. Mengenai psikologhi anak idiot, pada dasarnya mereka ikut melemah. Mereka tidak dapat menunjukkan dorongan emosi terhadap lingkungan sekitar. Hal inilah yang menyebabkan anak idiot tidak dapat menunjukkan rasa lapar atau haus serta dorongan untuk menghindari bahaya.

Dari beberapa klasifikasi di atas, dapat diketahui tindakan apa yang tepat untuk mengembangkan kemampuan mereka. Jika belum memenuhi klasifikasi yang ditentukan (misalnya bellum bisa membaca untuk TG ringan) ada baiknya mengoreksi proses belajar yang selama ini berlangsung. Terutama keadaan psikologi si anak.
KISAH NYATA DARI TUNA GRAHITA YANG BERPRESTASI
Stephanie Handojo, Tunagrahita Yang Berprestasi
JAKARTA-Adalah Stephanie Handojo (19), atlet berprestasi dibalik Tunagrahita yang dialaminya. Putri dari pasangan Santoso Handojo dan Maria Yustina Tjandrasari ini, telah mengalami down syndrome (yang memilikit tingkat IQ di bawah 70) atau lebih dikenal juga dengan Tunagrahita, namun di bawah asuhan ibunda tercinta Stephanie telah berhasil mengharumkan nama bangsa dan Negara Indonesia di dunia internasional lewat olahraga khusus Tunagrahita atau Special Olympic.
Prestasi yang pernah diraih Stephanie diantaranya, Juara 1 renang (Gaya Dada 50 m) di PORCADA 2005-2007, Gaya Dada 50 m di Singapore 27 th National Swimming Championship 2008-2009, Gaya Bebas 50 m di Singapore 28 th National Swimming Championship 2009 serta Gaya Dada 50 m di 7 th Special Olimpics Singapore National Games 2009.
Bidang lain yang berprestasi adalah seni musik dalam memainkan piano, Anniversary Frank n Co Jewellery di Pondok Indah Mal (2007), Aktualisasi Diri Keberbakatan Siswa Berkebutuhan Khususu di Semarang (tahun 2009) dan Launching mobil Chevrolet di Senayan City (2009) serta HUT ke 40 Lions Club, Hotel Borobudur Jakarta pada tahun 2009.
Mendapat Piagam Penghargaan dari Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo sebagai Atlet Berprestasi Peroleh Medali Emas pada 7 th Special Olympics Singapore National Games cabang olahraga renang dan Penganugerahan rekor MURI kepada Stephanie Handojo atas rekor Anaka Down Syndrome Mampu Memainkan 22 lagu dengan Piano, di Mall Ciputra Semarang, 21 Desember 2009.
Maria Yustina Djandrasari, mengatakan, bahwasanya peranan orang tua sangat berperan dalam mendidik dan membina anak-anak berkebutuhan khususu (Tunagrahita) seperti yang dialami putrinya. Ia mengutarakan suka dukanya kepada ForumNGO, bahwa sejak usia dikandungan ia sudah mengalami penderitaan bahwa anaknya tidak lahir secara normal seperti layaknya anak -anak yang memiliki tingkat IQ normal. Namun berkat kesabaran dan kegigihannya, ia belajar dari buku dan teman-temannya bahwa untuk mendidik anak-anak berkebutuhan khsusus (Tunagrahita) harus dimulai sejak dini berusia antara 0-6 tahun,harus diajarkan berbagai macam hal.
Ia mencontohkan dalam mengajar Stephanie, ia rela menghabiskan waktunya berjam-jam sehari penuh dengan memberi pengajaran, mengenalkan warna-warni suatu benda scara terus menerus sepanjang hari dengan sabar dan tekun. Memberikan pengetahuan benda-benda tumpul yang membahayakan selalu sepanjang hari, dan melatih bicara lewat terapi wicara mulai usia 3,5-4 tahun. Di samping itu ia berusaha memancing gerak tangan dan motorik otak kanana dan kiri putrinya lewat bermain piano sepanjang hari, sehingga otak dan gerak motoriknya bekerja normal. Ia tahu bahwa dengan berlatih piano membantu dan merangsang antara otak kanan dan otak kiri bekerja bersamaan dengan gerak motorik tangan dan badan.
Dengan usaha sdan kegigihan serta ketekunan, Stephanie, putrid sulungnya dari 3 bersaudara ini, kini berhasil meraih prestasi demi prestasi dan bahkan kini ia sekolah di sekolah normal yakni Sekolah Menengah Kejuruan Indusrti Pariwisata”Kasih Ananda”, jurusan perhotelan tahun 2009, hingga saat ini.
Maria beranggapan bahwa anaknya bisa normal dan berprilaku seperti layaknya anak-anak seusianya, bila dilatih dan dibina sedemikianr rupa. Ia berpesan kepada orangtua yang memiliki anak-anak berkebutuhan khusus, agar mau bekerja keras dan gigih dan jangan berpikir instans (cepat dan pintas) dalam mendidik anak-anak yang berkebutuhan khsusus tersebut, ungkapnya.(ForumNGO/DP)

Menurut pengklasifikasian Tuna Grahita di atas, Stephanie Handojo termasuk dalam kelompok tuna grahita sedang karena memilikit tingkat IQ di bawah 70 dan mampu mengurus diri sendiri. Namun, tetap membutuhkan pengawasan yang terus menerus. Dia juga bisa bekerja di tempat terlindung seperti bermain piano dan berenang.

pendidikan lingkungan hidup

CARA PENGOLAHAN AIR SUNGAI
Sistem Saringan Pasir Lambat "Up Flow"
Teknologi saringan pasir lambat yang banyak diterapkan di Indonesia biasanya adalah saringan pasir lambat konvesional dengan arah aliran dari atas ke bawah (down flow), sehingga jika kekeruhan air baku naik, terutama pada waktu hujan, maka sering terjadi penyumbatan pada saringan pasir, sehingga perlu dilakukan pencucian secara manual dengan cara mengeruk media pasirnya dan dicuci, setelah bersih dipasang lagi seperti semula, sehingga memerlukan tenaga yang cucup banyak. Ditambah lagi dengan faktor iklim di Indonesia yakni ada musim hujan air baku yang ada mempunyai kekeruhan yang sangat tinggi. Hal inilah yang sering menyebabkan saringan pasir lambat yang telah dibangun kurang berfungsi dengan baik, terutama pada musim hujan.
Jika tingkat kekeruhan air bakunya cukup tinggi misalnya pada waktu musim hujan, maka agar supaya beban saringan pasir lambat tidak telalu besar, maka perlu dilengkapi dengan peralatan pengolahan pendahuluan misalnya bak pengendapan awal atau saringan "Up Flow" dengan media berikil atau batu pecah, dan pasir kwarsa / silika. Selanjutnya dari bak saringan awal, air dialirkan ke bak saringan utama dengan arah aliran dari bawah ke atas (Up Flow). Air yang keluar dari bak saringan pasir Up Flow tersebut merupakan air olahan dan di alirkan ke bak penampung air bersih, selanjutnya didistribusikan ke konsumen dengan cara gravitasi atau dengan memakai pompa.


Diagram proses pengolahan serta contoh rancangan konstruksi saringan pasir lambat Up Flow ditunjukkan pada Gambar (3).

Gambar (3) : Diagram proses pengolahan air bersih dengan teknologi saringan pasir lambat "Up Flow" ganda.
Dengan sistem penyaringan dari arah bawah ke atas (Up Flow), jika saringan telah jenuh atau buntu, dapat dilakukan pencucian balik dengan cara membuka kran penguras. Dengan adanya pengurasan ini, air bersih yang berada di atas lapisan pasir dapat berfungi sebagai air pencuci media penyaring (back wash). Dengan demikian pencucian media penyaring pada saringan pasir lambat Up Flow tersebut dilakukan tanpa pengeluran atau pengerukan media penyaringnya, dan dapat dilakukan kapan saja.
Saringan pasir lambat "Up Flow" ini mempunyai keunggulan dalam hal pencucian media saringan (pasir) yang mudah, serta hasilnya sama dengan saringan pasir yang konvesional.
Kapasitas pengolahan dapat dirancang dengan berbagai macam ukuran sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan.