Selasa, 29 Mei 2012

FILSAFAT ILMU DAN DIMENSI-DIMENSI PENGETAHUAN


HAKIKAT FILSAFAT ILMU DAN DIMENSI-DIMENSI PENGETAHUAN
RESUME
Disusun guna memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu Ibu Susilaningsih

Oleh :
Made Putra Setiawan              1401409060
Anita Yuniarti Nurjannah       1401409077
Vida Safira                              1401409122
Yuli Purwati                            1401409188
Eka Fatmahwati                      1401409197
Ratnasari Purwaningsih          1401409333
Rombel 30
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2011
HAKIKAT FILSAFAT ILMU DAN DIMENSI-DIMENSI PENGETAHUAN
A.    Hakikat Filsafat Ilmu
1.      Hakekat Filsafat Ilmu
Cabang filsafat yang membahas masalah ilmu adalah filsafat ilmu. Tujuannya mengadakan analisis mengenai ilmu pengetahuan dan cara bagaimana pengetahuan ilmiah itu diperoleh. Jadi filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara untuk memperolehnya. Pokok perhatian filsafat ilmu adalah proses penyelidikan ilmiah itu sendiri. The Liang Gie mendefinisikan filsafat ilmu sebagai segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia.
Filsafat ilmu dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
a.       Filsafat ilmu dalam arti luas: menampung permasalahan yang menyangkut hubungan keluar dari kegiatan ilmiah, seperti: tata susila yang menjadi pegangan penyelenggara ilmu.
b.      Filsafat ilmu dalam arti sempit: menampung permasalahan yang bersangkutan dengan hubungan ke dalam yang terdapat di dalam ilmu, yaitu yang menyangkut sifat pengetahuan ilmiah, dan cara-cara mengusahakan serta mencapai pengetahuan ilmiah (Beerling, 1988).
Untuk mendapatkan gambaran singkat tentang pengertian filsafat ilmu dapat dirangkum tiga medan telaah yang tercakup di dalam filsafat ilmu, yaitu:
a.       Filsafat ilmu adalah telaah kritis terhadap metode yang digunakan oleh ilmu tertentu, terhadap lambang yang digunakan dan terhadap struktur penalaran tentang sistem lambang yang digunakan. Telaah kritis ini dapat diarahkan untuk mengkaji ilmu empiris dan ilmu rasional, juga untuk membahas studi bidang etika dan estetika, studi kesejarahan, antropologi, dll.
b.      Filsafat ilmu adalah upaya untuk mencari kejelasan mengenai dasar-dasar konsep, sangka wacana dan postulat mengenai ilmu dan upaya untuk membuka tabir dasar-dasar keempirisan, kerasionalan dan kepragmatisan.
c.       Filsafat ilmu adalah studi gabungan yang terdiri atas beberapa studi yang beraneka macam yang ditujukan untuk menetapkan batas yang tegas mengenai ilmu tertentu. (Hartono Kasmadi, dkk, 1990, hlm. 17-18)
2.      Manfaat Filsafat Ilmu
Di tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ditandai semakin menajamnya spesialisasi ilmu maka filsafat ilmu sangat diperlukan. Sebab dengan mempelajari filsafat ilmu, para ilmuwan akan menyadari keterbatasan dirinya dan tidak terperangkap kedalam sikap arogansi intelektual. Hal yang lebih diperlukan adalah sikap keterbukaan diri di kalangan ilmuwan, sehingga mereka dapat saling mengarahkan seluruh potensi keilmuwan yang dimilikinya untuk kepentingan bersama umat manusia.
Manfaat filsafat ilmu secara umum sebagai berikut:
a.       Filsafat ilmu sebagai sarana pengujian penalaran ilmiah, sehingga orang menjadi kritis terhadap kegiatan ilmiah. Maksudnya seorang ilmuwan harus memiliki sikap kritis terhadap bidang ilmunya sendiri, sehingga dapat menghindarkan diri dari sikap yang hanya menganggap bahwa pendapatnya sendiri yang paling benar.
b.      Filsafat ilmu merupakan usaha merefleksi, menguji, mengritik asumsi dan metode keilmuan. Sebab kecenderungan yang terjadi dikalangan para ilmuwan menerapkan suatu metode ilmiah tanpa memperhatikan struktur ilmu pengetahuan itu sendiri. Satu sikap yang diperlukan di sini adalah menerapkan metode ilmiah yang sesuai dengan struktur ilmu pengetahuan.
c.       Filsafat ilmu memberikan pendasaran logis terhadap metode keilmuan. Setiap metode ilmiah yang dikembangkan harus dapat dipertanggungjawabkan secara logis-rasional, agar dapat dipahami dan dipergunakan secara umum.
3.      Implikasi mempelajari filsafat ilmu seperti yang diuraikan Rizal Mustansyir, dkk (2001) adalah sebagai berikut:
a.       Bagi seseorang yang mempelajari filsafat ilmu diperlukan pengetahuan dasar yang memadai tentang ilmu, baik ilmu alam maupun sosial, supaya para ilmuwan memiliki landasan berpijak yang kuat. Ini berarti ilmuwan sosial perlu mempelajari ilmu-ilmu kealaman secara garis besar, demikian pula para ahli ilmu kealaman perlu mengetahui dan mempelajari secara garis besar tentang ilmu-ilmu sosial. Dengan demikian antara ilmu yang satu dengan lainnya akan saling menyapa, bahkan dimungkinkan terjalinnya kerjasama yang harmonis untuk memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan.
b.      Menyadarkan seorang ilmuwan agar tidak terjebak kepada pola pikir “menara gading”, yakni hanya berpikir murni dalam bidangnya tanpa mengaitkannya dengan kenyataan yang ada di luar dirinya. Padahal setiap aktivitas keilmuan nyaris tidak dapat dilepaskan dari konteks kehidupan sosial-kemasyarakatan.

B.     Tafsiran Metafisika dan Keterbatasan Manusia
C.     Metafisika (Bahasa Yunani: μετά (meta) = "setelah atau di balik", φύσικα (phúsika) = "hal-hal di alam&quot adalah cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di dunia. Metafisika adalah studi keberadaan atau realitas. Metafisika mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah sumber dari suatu realitas? Apakah Tuhan ada? Apa tempat manusia di dalam semesta?
Cabang utama metafisika adalah ontologi, studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam dan hubungan antara satu dan lainnya. Ahli metafisika juga berupaya memperjelas pemikiran-pemikiran manusia mengenai dunia, termasuk keberadaan, kebendaan, sifat, ruang, waktu, hubungan sebab akibat, dan kemungkinan.
Penggunaan istilah "metafisika" telah berkembang untuk merujuk pada "hal-hal yang di luar dunia fisik". "Toko buku metafisika", sebagai contoh, bukanlah menjual buku mengenai ontologi, melainkan lebih kepada buku-buku mengenai ilmu gaib, pengobatan alternatif, dan
hal-hal sejenisnya.
D.   
            Beberapa Tafsiran Metafisika Dalam menafsirkan hal ini, manusia mempunyai beberapa pendapat mengenai tafsiran metafisika. Tafsiran yang pertama yang dikemukakan oleh manusia terhadap alam ini adalah bahwa terdapat hal-hal gaib (supernatural)dan hal-hal tersebut bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam yang nyata. Pemikiran seperti ini disebut pemikiran supernaturalisme. Dari sini lahir tafsiran-tafsiran cabang misalnya animisme. Selain paham di atas, ada juga paham yang disebut paham naturalisme. paham ini amat bertentangan dengan paham supernaturalisme. Paham naturalisme menganggap bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh hal-hal yang bersifat gaib, melainkan karena kekuatan yang terdapat dalam itu sendiri,yang dapat dipelajari dan dapat diketahui. Orang-orang yang menganut paham naturalisme ini beranggapan seperti itu karena standar kebenaran yang mereka gunakan hanyalah logika akal semata, sehingga mereka mereka menolak keberadaan hal-hal yang bersifat gaib itu. Dari paham naturalisme ini juga muncul paham materialisme yang menganggap bahwa alam semesta dan manusia berasal dari materi. Salah satu pencetusnya ialah Democritus (460-370 S.M). Adapun bagi mereka yang mencoba mempelajari mengenai makhluk hidup. Timbul dua tafsiran yang masing saling bertentangan yakni paham mekanistik dan paham vitalistik. Kaum mekanistik melihat gejala alam (termasuk makhluk hidup) hanya merupakan gejala kimia-fisika semata. Sedangkan bagi kaum vitalistik hidup adalah sesuatu yang unik yang berbeda secara substansif dengan hanya sekedar gejala kimia-fisika semata. Berbeda halnya dengan telaah mengenai akal dan pikiran, dalam hal ini ada dua tafsiran yang juga saling berbeda satu sama lain. Yakni paham monoistik dan dualistik. sudah merupakan aksioma bahwa proses berpikir manusia menghasilkan pengetahuan tentang zat (objek) yang ditelaahnya. Dari sini aliran monoistik mempunyai pendapat yang tidak membedakan antara pikiran dan zat.keduanya (pikiran dan zat) hanya berbeda dalam gejala disebabkan proses yang berlainan namun mempunyai subtansi yang sama. Pendapat ini ditolak oleh kaum yang menganut paham dualistik. Dalam metafisika, penafsiran dualistik membedakan antara zat dan kesadaran (pikiran) yang bagi mereka berbeda secara substansif. Aliran ini berpendapat bahwa yang ditangkap oleh pikiran adalah bersifat mental. Maka yang bersifat nyata adalah pikiran, sebab dengan berpikirlah maka sesuatu itu lantas ada.

E.     Sumber Pengetahuan, Kelemahan dan Kelebihan Manusia

Sumber Pengetahuan
1.      Rasio
Pengetahuan yang diperoleh melalui sumber rasio, kebenarannya hanya didasarkan pada kebenaran akan pikiran semata, pendapat ini dikembangkan oleh para rasionalis, sedangkan orang yang menganut paham ini disebut sebagai kaum empirisme. Untuk dapat memperoleh pengetahuan yang benar, kaum rasionalisme menggunakan penalaran, sedangkan logika yang digunakan adalah logika deduktif. Premis-premis yang digunakan dalam proses penalaran diperoleh melalui ide-ide yang menurut anggapan, dasarnya jelas dan dapat diterima. Bagi kaum rasionalis permasalahan utama yang dihadapi adalah penilaian terhadap kebenaran premis-premis yang digunakan untuk penalaran deduktif. Karena premis yang digunakan bersumber pada penalaran rasional yang bersifat abstrak dan terbebas dari pengalaman, maka penilaian semacam ini tidak bisa dilakukan.
Oleh karena itu, melalui penalaran rasional akan mendapatkan bermacam-macam pengetahuan mengenai suatu objek tertentu. Pengetahuan yang bersumber dari pemikiran rasioanal semacam ini cenderung bersifat solipsitik ( hanya benar dalam kerangka pemikiran tertentu yang berbeda dalam benak orang yang berpikir tersebut) dan sifatnya subyektif.
2.      Pengalaman Manusia
Sumber pengetahuan diperoleh melalui pengalaman, kebenaran pengetahuan hanya didasarkan pada fakta-fakta yang ada di lapangan, dan orang yang menganut paham ini disebut sebagai kaum empirisme. kaum empiris beranggapan bahwa gejala-gejala alamiah yang terjadi di muka bumi ini adalah bersifat kongkret dan dapat dinyatakan melalui tangkapan panca indera manusia. Contohnya, suatu logam bila dipanaskan akan memuai, langit mendung diikuti dengan turunnya hujan, dan lain sebagainya. Masalah utama yang muncul dalam penyusunan pengetahuan secara empiris ini adalah bahwa pengetahuan yang dikumpulkan itu cenderung untuk menjadi kumpulan fakta-fakta dan belum menjamin terwujudnya suatu sistem pengetahuan yang sistematis.
3.      Intuisi
Intuisi adalah kegiatan berpikir untuk mendapatkan pengetahuan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Contohnya, seseorang yang sedang terpusat pikirannya pada suatu masalah tiba-tiba saja menemukan jawaban atas pemasalahan tersebut. Intuisi merupakan kegiatan berpikir yang bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Pengetahuan intuisif dapat dipergunakan sebagai hipotesis bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar tidaknya penyataan yang dikemukakan. Dengan demikian kegiatan intuisif dan analitik dapat bekerja saling membantu dalam menemukan kebenaran.
4.      Wahyu
Wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia melalui nabi-nabi yang diutus-Nya sepanjang zaman. Pengetahuan ini didasarkan kepada kepercayaan akan hal-hal gaib( supernatural). Kepercayaan kepada Tuhan yang merupakan sumber pengetahuan, kepercayaan kepada nabi sebagai utusan Tuhan, kepercayaan terhadap wahyu sabagai cara penyampaian, merupakan dasar dari penyusunan pengetahuan ini.
5.      Otoritas
Pengetahuan diterima bukan karena telah mengeceknya di luar dari diri kita, melainkan telah dijamin oleh otoritas (suatu sumber yang berwibawa, memiliki wewenang, memiliki hak) di lapangan. Kita menerima pendapat orang lain, karena ia adlah seorang pakar dalam bidangnya. Misalnya, pada zaman kerajaan, sabda raja merupakan petuah yang dianggap benar karena raja merupakan mausia yang paling berkuasa.
            Kelemahan dan Kelebihan Manusia
Manusia pada hakikatnya sama saja dengan makhluk hidup lainnya, yaitu memiliki hasrat dan tujuan. Ia berjuang meraih tujuannya dengan didukung oleh pengetahuan dan kesadaran. Manusia sebagai salah satu makhluk yang memiliki karakter paling unik. Manusia memiliki kelebihan yang tidak dimiliki makhluk lain, diantaranya adalah
1.      Manusia dianugerahi akal dan pikiran oleh Tuhan YME agar dapat membedakan apa sesuatu itu benar atau salah, baik atau buruk, serta mana yang indah dan yang kurang indah.
2.      Manusia memiliki cipta, rasa dan karsa agar dapat menghasilkan sesuatu yang berguna bagi kelangsungan hidup semua makhluk.
3.      Dengan pengetahuan yang dimilikinya, manusia mampu menciptakan kebudayaan.
4.      Manusia diberi dua kemampuan bahasa dan kemampuan berpikir secara lisan.
Selain mempunyai kelebihan, manusia juga mempunyai banyak kelemahan. Diantaranya adalah
1.      Manusia dianggap sebagai makhluk idealis artinya manusia tidak pernah puas dengan apa yang ada.
2.      Manusia memiliki nafsu yang sulit untuk dikendalikan.
3.      Eksistensi manusia dibatasi oleh ruang, waktu, dan syarat-syarat  lain yang dibawa oleh kodratnya. Seorang manusia tidak dapat secara fisik hadir dalam dua tempat yang agak berjauhan.

F.     Dimensi-Dimensi Pengetahuan
            Kata dimensi digunakan untuk menunjukkan sudut pandang terhadap sesuatu, dari sudut kepentingan apa kita mengkaji ilmu pengetahuan. Dimensi keilmuan diartikan sebagai pilihan kita bagaimana memandang, melihat, atau mengkaji ilmu pengetahuan. Yang termasuk dimensi-dimensi pengetahuan adalah:
1.      Dimensi Ontologis
            Istilah “ontologi” berasal dari kata yunani “onta” yang berarti sesuatu yang sungguh-sungguh ada atau kenyataan yang sungguh ada, dan “logos” yang berarti studi tentang. Jadi Ontologi adalah studi yang membahas sesuatu yang sungguh-sungguh ada.
            Fungsi atau manfaat mempelajari ontologi adalah sebagai refleksi kritis atas objek atau bidang garapan, konsep-konsep, asumsi-asumsi dan postulat-postulat ilmu. Sebab pentingnya ontologi:
a)      Kesalahan asumsi, akan melahirkan teori, metodologi keilmuan yang salah pula.
b)      Ontologi membantu ilmu untuk menyusun suatu pandangan dunia yang integral, komprehensif, dan koheren.
c)      Ontologi membantu memberikan masukan informasi untuk mengatasi permasalahan yang tidak mampu dipecahkan oleh ilmu-ilmu khusus.

2.      Dimensi Epistimologis
            Epistimologi sering juga disebut teori pengetahuan(theory of knowledge). Istilah epistimologi berasal dari kata bahasa yunani “episteme” yang artinya pengetahuan, dan “logos” yang berarti teori. Jadi epistimologi dapat didefinisikan sebagai dimensi filsafat yang mempelajari asal mula, sumber, manfaat, dan sahihnya pengetahuan.
            Landasan epistimologi ilmu menyangkut cara berpikir keilmuan berkenaan dengan kriteria tertentu agar sampai pada kebenaranilmiah. Dengan kata lain yang dibicarakan dalam epistimologi, ilmu adalah suatu proses berpikif ilmiah. Sesuai dengan perkembangannya ilmu berkembang melalui taraf berfikir sebagai berikut:
a)      Ilmu rasional
b)      Ilmu rasional empirik
c)      Ilmu rasional empirik eksperimental

3.      Dimensi Aksiologis
            Secara etimologis aksiologis berasal dari kata Aksios yang berarti nilai dan logos yang berarti ilmu atau teori. Aksiologi sebagai teori tentang nilai membahas tentang hakikat nilai, sehingga disebut filsafat nilai. Fungsi aksiologi yaitu:
a)      Menjaga dan memberi arah agar proses keilmuan dapat menemukan kebenaran hakiki,
b)      Dalam pemilihan objek penelaahan dapat dilakukan secara etis yang tidak mengubah kodrat manusia, tidak merendahkan martabat manusia, tidak mencapuri permasalahan kehidupan dan netral dari nilai-nilai yang bersifat dogmatik, arogansi kekuasaan dan kepentingan politik.
c)      Pengembangan ilmu pengetahuan diarahkan untuk dapat meningkatkan taraf hidup yang memperhatikan kodrat dan martabat manusia serta keseimbangan, kelestarian alam lewat pemanfaatan ilmu dan temuan-temuan universal.

G.    Kaitan Dimensi Pengetahuan dengan Disiplin-Disiplin Ilmu
H.     Kaitan Ontologi dengan Disiplin-disiplin Ilmu
Secara umum relevansi ontologi bagi ilmu adalah bahwa ontologi dapat dijadikan dasar merumuskan hipotesis-hipotesis baru untuk memperbaharui asumsi-asumsi dasar yang pernah digunakan.
Landasan ontologi relevan bagi dunia keilmuan dewasa ini antara lain: memberikan landasan bagi asumsi keilmuan dan membantu terciptanya komunikasi interdisipliner atau multidisipliner. Artinya ontologi membantu pemetaan kenyataan, batas-batas ilmu, dan kemungkinan kombinasi antar berbagai ilmu. Misalnya fenomena krisis moneter yangg melanda Indonesia dewasa ini tidak dapat ditangani oleh ilmu ekonomi saja. Ontologi menyadarkan bahwa ada kenyataan lain yang tidak berada dalam ilmu ekonomi, sehingga memerlukan masukan dari ilmu lain seperti politik, sosiologi, dan kriminologi. Ditemukannya paradigma  baru keilmuan misalnya psikolinguistik karena terdapat kenyataan yang tidak dapat diatasi oleh disiplin ilmu psikologi saja, tetapi membutuhkan disiplin ilmu bahasa, maka ditemukanlah paradiigma psikolinguistik.
Ontologi juga relevan dalam merefleksikan problem pembngunan. pembangunan selama ini terbukti belum dapat mewujudkan masyarakat adil dan makmur, hal ini tidak terlepas dari aspek ontologi yang melandasi konsep pembangunan di Indonesia yang lebih didominasi oleh pandangan positivistik.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa landasan ontologis memberikan dasar yang fundamental terhadap konsistensi pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan.
I.        Kaitan Epistemologi dengan Disiplin-disiplin Ilmu
Epistemologi merupakan dimensi filsafat yang mempelajari asal mula, sumber, manfaat, dan sahihnya pengetahuan. Epistemologi merupakan cara mempelajari, mengembangkan, dan memanfaatkan ilmu bagi kemaslahatan manusia.
Epistimologi menjadi dasar pijakan dalam memberikan legitimasi bagi suatu ilmu pengetahuan untuk diakui sebagai disiplin ilmu, dan memberikan keabsahan disiplin ilmu tertentu. dengan demikian epistemologi juga memberi kerangka acuan terhadap pengembangan ilmu peengetahuan.




J.       Kaitan Aksiologi dengan Disiplin-disiplin Ilmu
Aksiologi adalah ilmu yang mengkaji tentang nilai-nilai. Aksiologi (teori tentang nilai) sebagai filsafat yang membahas apa kegunaan ilmu pengetahuan bagi manusia.
Ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Dalam hal ini, ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan kelestarian atau keseimbangan alam.
Untuk kepentingan manusia tersebut pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan disusun dipergunakan secara komunal dan universal. Komunal berarti ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama, sehingga setiap orang berhak memanfaatkan ilmu menurut kebutuhannya. Universal berarti bahwa ilmu tidak mempunyai konotasi ras, ideologi, atau agama.
Perkembangan ilmu pengetahuan melahirkan berbagai macam dampaknya terhadap kehidupan manusia dan lingkungannya, di satu sisi dia mampu membantu dan meringankan beban manusia, namun di sisi lain dia juga mempunyai andil dalam menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan, bahkan eksistensi itu sendiri. Ilmu barat yang bercorak sekuler dibangun di atas filsafat materialistisme, naturalisme dan eksistensialisme melahirkan ilmu pengetahuan yang jauh dari nilai-nilai spiritual, moral, dan etika.
Aksiologi menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan, Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral. Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral.  Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral.






DAFTAR PUSTAKA


http://kunt34.blogspot.com/2010/12/dimensi-ontologis-ilmu.html
ttp://gagasanhukum.wordpress.com/2011/03/07/filsafat-hukum-dalam-kajian-aspek-ontologi-epistomologi-dan-aksiologi-bagian-ii/
ttp://gagasanhukum.wordpress.com/2011/03/07/filsafat-hukum-dalam-kajian-aspek-ontologi-epistomologi-dan-aksiologi-bagian-ii/
http://kecoaxus.tripod.com/filsafat/pengfil.htm


Tidak ada komentar:

Posting Komentar