HAKIKAT
FILSAFAT ILMU DAN DIMENSI-DIMENSI PENGETAHUAN
RESUME
Disusun guna memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat
Ilmu
Dosen Pengampu Ibu Susilaningsih
Oleh :
Made Putra Setiawan 1401409060
Anita Yuniarti Nurjannah 1401409077
Vida Safira 1401409122
Yuli Purwati 1401409188
Eka Fatmahwati 1401409197
Ratnasari Purwaningsih 1401409333
Rombel 30
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2011
HAKIKAT
FILSAFAT ILMU DAN DIMENSI-DIMENSI PENGETAHUAN
A. Hakikat
Filsafat Ilmu
1. Hakekat
Filsafat Ilmu
Cabang
filsafat yang membahas masalah ilmu adalah filsafat ilmu. Tujuannya mengadakan
analisis mengenai ilmu pengetahuan dan cara bagaimana pengetahuan ilmiah itu
diperoleh. Jadi filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan
ilmiah dan cara untuk memperolehnya. Pokok perhatian filsafat ilmu adalah
proses penyelidikan ilmiah itu sendiri. The Liang Gie mendefinisikan filsafat
ilmu sebagai segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan mengenai segala hal
yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari
kehidupan manusia.
Filsafat
ilmu dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Filsafat
ilmu dalam arti luas: menampung permasalahan yang menyangkut hubungan keluar
dari kegiatan ilmiah, seperti: tata susila yang menjadi pegangan penyelenggara
ilmu.
b. Filsafat
ilmu dalam arti sempit: menampung permasalahan yang bersangkutan dengan
hubungan ke dalam yang terdapat di dalam ilmu, yaitu yang menyangkut sifat
pengetahuan ilmiah, dan cara-cara mengusahakan serta mencapai pengetahuan
ilmiah (Beerling, 1988).
Untuk
mendapatkan gambaran singkat tentang pengertian filsafat ilmu dapat dirangkum
tiga medan telaah yang tercakup di dalam filsafat ilmu, yaitu:
a. Filsafat
ilmu adalah telaah kritis terhadap metode yang digunakan oleh ilmu tertentu,
terhadap lambang yang digunakan dan terhadap struktur penalaran tentang sistem
lambang yang digunakan. Telaah kritis ini dapat diarahkan untuk mengkaji ilmu
empiris dan ilmu rasional, juga untuk membahas studi bidang etika dan estetika,
studi kesejarahan, antropologi, dll.
b. Filsafat
ilmu adalah upaya untuk mencari kejelasan mengenai dasar-dasar konsep, sangka
wacana dan postulat mengenai ilmu dan upaya untuk membuka tabir dasar-dasar
keempirisan, kerasionalan dan kepragmatisan.
c. Filsafat
ilmu adalah studi gabungan yang terdiri atas beberapa studi yang beraneka macam
yang ditujukan untuk menetapkan batas yang tegas mengenai ilmu tertentu.
(Hartono Kasmadi, dkk, 1990, hlm. 17-18)
2. Manfaat
Filsafat Ilmu
Di
tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ditandai semakin
menajamnya spesialisasi ilmu maka filsafat ilmu sangat diperlukan. Sebab dengan
mempelajari filsafat ilmu, para ilmuwan akan menyadari keterbatasan dirinya dan
tidak terperangkap kedalam sikap arogansi intelektual. Hal yang lebih
diperlukan adalah sikap keterbukaan diri di kalangan ilmuwan, sehingga mereka
dapat saling mengarahkan seluruh potensi keilmuwan yang dimilikinya untuk
kepentingan bersama umat manusia.
Manfaat
filsafat ilmu secara umum sebagai berikut:
a. Filsafat
ilmu sebagai sarana pengujian penalaran ilmiah, sehingga orang menjadi kritis
terhadap kegiatan ilmiah. Maksudnya seorang ilmuwan harus memiliki sikap kritis
terhadap bidang ilmunya sendiri, sehingga dapat menghindarkan diri dari sikap
yang hanya menganggap bahwa pendapatnya sendiri yang paling benar.
b. Filsafat
ilmu merupakan usaha merefleksi, menguji, mengritik asumsi dan metode keilmuan.
Sebab kecenderungan yang terjadi dikalangan para ilmuwan menerapkan suatu
metode ilmiah tanpa memperhatikan struktur ilmu pengetahuan itu sendiri. Satu
sikap yang diperlukan di sini adalah menerapkan metode ilmiah yang sesuai
dengan struktur ilmu pengetahuan.
c. Filsafat
ilmu memberikan pendasaran logis terhadap metode keilmuan. Setiap metode ilmiah
yang dikembangkan harus dapat dipertanggungjawabkan secara logis-rasional, agar
dapat dipahami dan dipergunakan secara umum.
3. Implikasi
mempelajari filsafat ilmu seperti yang diuraikan Rizal Mustansyir, dkk (2001)
adalah sebagai berikut:
a. Bagi
seseorang yang mempelajari filsafat ilmu diperlukan pengetahuan dasar yang
memadai tentang ilmu, baik ilmu alam maupun sosial, supaya para ilmuwan
memiliki landasan berpijak yang kuat. Ini berarti ilmuwan sosial perlu
mempelajari ilmu-ilmu kealaman secara garis besar, demikian pula para ahli ilmu
kealaman perlu mengetahui dan mempelajari secara garis besar tentang ilmu-ilmu
sosial. Dengan demikian antara ilmu yang satu dengan lainnya akan saling
menyapa, bahkan dimungkinkan terjalinnya kerjasama yang harmonis untuk
memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan.
b. Menyadarkan
seorang ilmuwan agar tidak terjebak kepada pola pikir “menara gading”, yakni
hanya berpikir murni dalam bidangnya tanpa mengaitkannya dengan kenyataan yang
ada di luar dirinya. Padahal setiap aktivitas keilmuan nyaris tidak dapat
dilepaskan dari konteks kehidupan sosial-kemasyarakatan.
B.
Tafsiran
Metafisika dan Keterbatasan Manusia
C.
Metafisika
(Bahasa Yunani: μετά (meta) = "setelah atau di balik", φύσικα
(phúsika) = "hal-hal di alam" adalah
cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di
dunia. Metafisika adalah studi keberadaan atau realitas. Metafisika mencoba
menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah sumber dari suatu realitas?
Apakah Tuhan ada? Apa tempat manusia di dalam semesta?
Cabang utama metafisika adalah ontologi, studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam dan hubungan antara satu dan lainnya. Ahli metafisika juga berupaya memperjelas pemikiran-pemikiran manusia mengenai dunia, termasuk keberadaan, kebendaan, sifat, ruang, waktu, hubungan sebab akibat, dan kemungkinan.
Penggunaan istilah "metafisika" telah berkembang untuk merujuk pada "hal-hal yang di luar dunia fisik". "Toko buku metafisika", sebagai contoh, bukanlah menjual buku mengenai ontologi, melainkan lebih kepada buku-buku mengenai ilmu gaib, pengobatan alternatif, dan hal-hal sejenisnya.
Cabang utama metafisika adalah ontologi, studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam dan hubungan antara satu dan lainnya. Ahli metafisika juga berupaya memperjelas pemikiran-pemikiran manusia mengenai dunia, termasuk keberadaan, kebendaan, sifat, ruang, waktu, hubungan sebab akibat, dan kemungkinan.
Penggunaan istilah "metafisika" telah berkembang untuk merujuk pada "hal-hal yang di luar dunia fisik". "Toko buku metafisika", sebagai contoh, bukanlah menjual buku mengenai ontologi, melainkan lebih kepada buku-buku mengenai ilmu gaib, pengobatan alternatif, dan hal-hal sejenisnya.
D.
Beberapa Tafsiran Metafisika Dalam menafsirkan hal ini, manusia mempunyai beberapa pendapat mengenai tafsiran metafisika. Tafsiran yang pertama yang dikemukakan oleh manusia terhadap alam ini adalah bahwa terdapat hal-hal gaib (supernatural)dan hal-hal tersebut bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam yang nyata. Pemikiran seperti ini disebut pemikiran supernaturalisme. Dari sini lahir tafsiran-tafsiran cabang misalnya animisme. Selain paham di atas, ada juga paham yang disebut paham naturalisme. paham ini amat bertentangan dengan paham supernaturalisme. Paham naturalisme menganggap bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh hal-hal yang bersifat gaib, melainkan karena kekuatan yang terdapat dalam itu sendiri,yang dapat dipelajari dan dapat diketahui. Orang-orang yang menganut paham naturalisme ini beranggapan seperti itu karena standar kebenaran yang mereka gunakan hanyalah logika akal semata, sehingga mereka mereka menolak keberadaan hal-hal yang bersifat gaib itu. Dari paham naturalisme ini juga muncul paham materialisme yang menganggap bahwa alam semesta dan manusia berasal dari materi. Salah satu pencetusnya ialah Democritus (460-370 S.M). Adapun bagi mereka yang mencoba mempelajari mengenai makhluk hidup. Timbul dua tafsiran yang masing saling bertentangan yakni paham mekanistik dan paham vitalistik. Kaum mekanistik melihat gejala alam (termasuk makhluk hidup) hanya merupakan gejala kimia-fisika semata. Sedangkan bagi kaum vitalistik hidup adalah sesuatu yang unik yang berbeda secara substansif dengan hanya sekedar gejala kimia-fisika semata. Berbeda halnya dengan telaah mengenai akal dan pikiran, dalam hal ini ada dua tafsiran yang juga saling berbeda satu sama lain. Yakni paham monoistik dan dualistik. sudah merupakan aksioma bahwa proses berpikir manusia menghasilkan pengetahuan tentang zat (objek) yang ditelaahnya. Dari sini aliran monoistik mempunyai pendapat yang tidak membedakan antara pikiran dan zat.keduanya (pikiran dan zat) hanya berbeda dalam gejala disebabkan proses yang berlainan namun mempunyai subtansi yang sama. Pendapat ini ditolak oleh kaum yang menganut paham dualistik. Dalam metafisika, penafsiran dualistik membedakan antara zat dan kesadaran (pikiran) yang bagi mereka berbeda secara substansif. Aliran ini berpendapat bahwa yang ditangkap oleh pikiran adalah bersifat mental. Maka yang bersifat nyata adalah pikiran, sebab dengan berpikirlah maka sesuatu itu lantas ada.
Beberapa Tafsiran Metafisika Dalam menafsirkan hal ini, manusia mempunyai beberapa pendapat mengenai tafsiran metafisika. Tafsiran yang pertama yang dikemukakan oleh manusia terhadap alam ini adalah bahwa terdapat hal-hal gaib (supernatural)dan hal-hal tersebut bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam yang nyata. Pemikiran seperti ini disebut pemikiran supernaturalisme. Dari sini lahir tafsiran-tafsiran cabang misalnya animisme. Selain paham di atas, ada juga paham yang disebut paham naturalisme. paham ini amat bertentangan dengan paham supernaturalisme. Paham naturalisme menganggap bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh hal-hal yang bersifat gaib, melainkan karena kekuatan yang terdapat dalam itu sendiri,yang dapat dipelajari dan dapat diketahui. Orang-orang yang menganut paham naturalisme ini beranggapan seperti itu karena standar kebenaran yang mereka gunakan hanyalah logika akal semata, sehingga mereka mereka menolak keberadaan hal-hal yang bersifat gaib itu. Dari paham naturalisme ini juga muncul paham materialisme yang menganggap bahwa alam semesta dan manusia berasal dari materi. Salah satu pencetusnya ialah Democritus (460-370 S.M). Adapun bagi mereka yang mencoba mempelajari mengenai makhluk hidup. Timbul dua tafsiran yang masing saling bertentangan yakni paham mekanistik dan paham vitalistik. Kaum mekanistik melihat gejala alam (termasuk makhluk hidup) hanya merupakan gejala kimia-fisika semata. Sedangkan bagi kaum vitalistik hidup adalah sesuatu yang unik yang berbeda secara substansif dengan hanya sekedar gejala kimia-fisika semata. Berbeda halnya dengan telaah mengenai akal dan pikiran, dalam hal ini ada dua tafsiran yang juga saling berbeda satu sama lain. Yakni paham monoistik dan dualistik. sudah merupakan aksioma bahwa proses berpikir manusia menghasilkan pengetahuan tentang zat (objek) yang ditelaahnya. Dari sini aliran monoistik mempunyai pendapat yang tidak membedakan antara pikiran dan zat.keduanya (pikiran dan zat) hanya berbeda dalam gejala disebabkan proses yang berlainan namun mempunyai subtansi yang sama. Pendapat ini ditolak oleh kaum yang menganut paham dualistik. Dalam metafisika, penafsiran dualistik membedakan antara zat dan kesadaran (pikiran) yang bagi mereka berbeda secara substansif. Aliran ini berpendapat bahwa yang ditangkap oleh pikiran adalah bersifat mental. Maka yang bersifat nyata adalah pikiran, sebab dengan berpikirlah maka sesuatu itu lantas ada.
E.
Sumber
Pengetahuan, Kelemahan dan Kelebihan Manusia
Sumber Pengetahuan
1. Rasio
Pengetahuan
yang diperoleh melalui sumber rasio, kebenarannya hanya didasarkan pada
kebenaran akan pikiran semata, pendapat ini dikembangkan oleh para rasionalis,
sedangkan orang yang menganut paham ini disebut sebagai kaum empirisme. Untuk dapat memperoleh
pengetahuan yang benar, kaum rasionalisme menggunakan penalaran, sedangkan
logika yang digunakan adalah logika deduktif. Premis-premis yang digunakan
dalam proses penalaran diperoleh melalui ide-ide yang menurut anggapan,
dasarnya jelas dan dapat diterima. Bagi kaum rasionalis permasalahan utama yang
dihadapi adalah penilaian terhadap kebenaran premis-premis yang digunakan untuk
penalaran deduktif. Karena premis yang digunakan bersumber pada penalaran
rasional yang bersifat abstrak dan terbebas dari pengalaman, maka penilaian
semacam ini tidak bisa dilakukan.
Oleh
karena itu, melalui penalaran rasional akan mendapatkan bermacam-macam
pengetahuan mengenai suatu objek tertentu. Pengetahuan yang bersumber dari
pemikiran rasioanal semacam ini cenderung bersifat solipsitik ( hanya benar dalam kerangka pemikiran tertentu yang
berbeda dalam benak orang yang berpikir tersebut) dan sifatnya subyektif.
2. Pengalaman
Manusia
Sumber
pengetahuan diperoleh melalui pengalaman, kebenaran pengetahuan hanya
didasarkan pada fakta-fakta yang ada di lapangan, dan orang yang menganut paham
ini disebut sebagai kaum empirisme. kaum empiris beranggapan bahwa
gejala-gejala alamiah yang terjadi di muka bumi ini adalah bersifat kongkret
dan dapat dinyatakan melalui tangkapan panca indera manusia. Contohnya, suatu
logam bila dipanaskan akan memuai, langit mendung diikuti dengan turunnya
hujan, dan lain sebagainya. Masalah utama yang muncul dalam penyusunan
pengetahuan secara empiris ini adalah bahwa pengetahuan yang dikumpulkan itu
cenderung untuk menjadi kumpulan fakta-fakta dan belum menjamin terwujudnya
suatu sistem pengetahuan yang sistematis.
3. Intuisi
Intuisi
adalah kegiatan berpikir untuk mendapatkan pengetahuan tanpa melalui proses
penalaran tertentu. Contohnya, seseorang yang sedang terpusat pikirannya pada
suatu masalah tiba-tiba saja menemukan jawaban atas pemasalahan tersebut.
Intuisi merupakan kegiatan berpikir yang bersifat personal dan tidak bisa
diramalkan. Pengetahuan intuisif dapat dipergunakan sebagai hipotesis bagi
analisis selanjutnya dalam menentukan benar tidaknya penyataan yang
dikemukakan. Dengan demikian kegiatan intuisif dan analitik dapat bekerja
saling membantu dalam menemukan kebenaran.
4. Wahyu
Wahyu
merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia melalui
nabi-nabi yang diutus-Nya sepanjang zaman. Pengetahuan ini didasarkan kepada
kepercayaan akan hal-hal gaib( supernatural). Kepercayaan kepada Tuhan yang
merupakan sumber pengetahuan, kepercayaan kepada nabi sebagai utusan Tuhan,
kepercayaan terhadap wahyu sabagai cara penyampaian, merupakan dasar dari
penyusunan pengetahuan ini.
5. Otoritas
Pengetahuan
diterima bukan karena telah mengeceknya di luar dari diri kita, melainkan telah
dijamin oleh otoritas (suatu sumber yang berwibawa, memiliki wewenang, memiliki
hak) di lapangan. Kita menerima pendapat orang lain, karena ia adlah seorang
pakar dalam bidangnya. Misalnya, pada zaman kerajaan, sabda raja merupakan
petuah yang dianggap benar karena raja merupakan mausia yang paling berkuasa.
Kelemahan
dan Kelebihan Manusia
Manusia pada hakikatnya sama saja
dengan makhluk hidup lainnya, yaitu memiliki hasrat dan tujuan. Ia berjuang
meraih tujuannya dengan didukung oleh pengetahuan dan kesadaran. Manusia
sebagai salah satu makhluk yang memiliki karakter paling unik. Manusia memiliki
kelebihan yang tidak dimiliki makhluk lain, diantaranya adalah
1. Manusia
dianugerahi akal dan pikiran oleh Tuhan YME agar dapat membedakan apa sesuatu
itu benar atau salah, baik atau buruk, serta mana yang indah dan yang kurang
indah.
2. Manusia
memiliki cipta, rasa dan karsa agar dapat menghasilkan sesuatu yang berguna
bagi kelangsungan hidup semua makhluk.
3. Dengan
pengetahuan yang dimilikinya, manusia mampu menciptakan kebudayaan.
4. Manusia
diberi dua kemampuan bahasa dan kemampuan berpikir secara lisan.
Selain mempunyai kelebihan, manusia
juga mempunyai banyak kelemahan. Diantaranya adalah
1. Manusia
dianggap sebagai makhluk idealis artinya manusia tidak pernah puas dengan apa
yang ada.
2. Manusia
memiliki nafsu yang sulit untuk dikendalikan.
3. Eksistensi
manusia dibatasi oleh ruang, waktu, dan syarat-syarat lain yang dibawa oleh kodratnya. Seorang
manusia tidak dapat secara fisik hadir dalam dua tempat yang agak berjauhan.
F.
Dimensi-Dimensi
Pengetahuan
Kata dimensi digunakan untuk
menunjukkan sudut pandang terhadap sesuatu, dari sudut kepentingan apa kita
mengkaji ilmu pengetahuan. Dimensi
keilmuan diartikan sebagai pilihan kita bagaimana memandang, melihat, atau
mengkaji ilmu pengetahuan. Yang termasuk
dimensi-dimensi pengetahuan adalah:
1. Dimensi
Ontologis
Istilah “ontologi” berasal dari kata
yunani “onta” yang berarti sesuatu yang sungguh-sungguh ada atau kenyataan yang
sungguh ada, dan “logos” yang berarti studi tentang. Jadi Ontologi adalah studi
yang membahas sesuatu yang sungguh-sungguh ada.
Fungsi atau manfaat mempelajari
ontologi adalah sebagai refleksi kritis atas objek atau bidang garapan,
konsep-konsep, asumsi-asumsi dan postulat-postulat ilmu. Sebab pentingnya ontologi:
a)
Kesalahan asumsi,
akan melahirkan teori, metodologi keilmuan yang salah pula.
b)
Ontologi membantu
ilmu untuk menyusun suatu pandangan dunia yang integral, komprehensif, dan
koheren.
c)
Ontologi membantu
memberikan masukan informasi untuk mengatasi permasalahan yang tidak mampu
dipecahkan oleh ilmu-ilmu khusus.
2. Dimensi
Epistimologis
Epistimologi sering juga disebut
teori pengetahuan(theory of knowledge). Istilah epistimologi berasal dari kata
bahasa yunani “episteme” yang artinya pengetahuan, dan “logos” yang berarti
teori. Jadi epistimologi dapat didefinisikan sebagai dimensi filsafat yang
mempelajari asal mula, sumber, manfaat, dan sahihnya pengetahuan.
Landasan epistimologi ilmu
menyangkut cara berpikir keilmuan berkenaan dengan kriteria tertentu agar
sampai pada kebenaranilmiah. Dengan kata lain yang dibicarakan dalam
epistimologi, ilmu adalah suatu proses berpikif ilmiah. Sesuai dengan
perkembangannya ilmu berkembang melalui taraf berfikir sebagai berikut:
a)
Ilmu rasional
b)
Ilmu rasional
empirik
c)
Ilmu rasional
empirik eksperimental
3. Dimensi
Aksiologis
Secara etimologis aksiologis berasal
dari kata Aksios yang berarti nilai dan logos yang berarti ilmu atau teori.
Aksiologi sebagai teori tentang nilai membahas tentang hakikat nilai, sehingga
disebut filsafat nilai. Fungsi aksiologi
yaitu:
a)
Menjaga dan memberi
arah agar proses keilmuan dapat menemukan kebenaran hakiki,
b)
Dalam pemilihan
objek penelaahan dapat dilakukan secara etis yang tidak mengubah kodrat
manusia, tidak merendahkan martabat manusia, tidak mencapuri permasalahan
kehidupan dan netral dari nilai-nilai yang bersifat dogmatik, arogansi
kekuasaan dan kepentingan politik.
c)
Pengembangan ilmu
pengetahuan diarahkan untuk dapat meningkatkan taraf hidup yang memperhatikan
kodrat dan martabat manusia serta keseimbangan, kelestarian alam lewat
pemanfaatan ilmu dan temuan-temuan universal.
G.
Kaitan
Dimensi Pengetahuan dengan Disiplin-Disiplin Ilmu
H.
Kaitan
Ontologi dengan Disiplin-disiplin Ilmu
Secara
umum relevansi ontologi bagi ilmu adalah bahwa ontologi dapat dijadikan dasar
merumuskan hipotesis-hipotesis baru untuk memperbaharui asumsi-asumsi dasar
yang pernah digunakan.
Landasan
ontologi relevan bagi dunia keilmuan dewasa ini antara lain: memberikan
landasan bagi asumsi keilmuan dan membantu terciptanya komunikasi
interdisipliner atau multidisipliner. Artinya ontologi membantu pemetaan
kenyataan, batas-batas ilmu, dan kemungkinan kombinasi antar berbagai ilmu.
Misalnya fenomena krisis moneter yangg melanda Indonesia dewasa ini tidak dapat
ditangani oleh ilmu ekonomi saja. Ontologi menyadarkan bahwa ada kenyataan lain
yang tidak berada dalam ilmu ekonomi, sehingga memerlukan masukan dari ilmu
lain seperti politik, sosiologi, dan kriminologi. Ditemukannya paradigma baru keilmuan misalnya psikolinguistik karena
terdapat kenyataan yang tidak dapat diatasi oleh disiplin ilmu psikologi saja,
tetapi membutuhkan disiplin ilmu bahasa, maka ditemukanlah paradiigma
psikolinguistik.
Ontologi
juga relevan dalam merefleksikan problem pembngunan. pembangunan selama ini
terbukti belum dapat mewujudkan masyarakat adil dan makmur, hal ini tidak
terlepas dari aspek ontologi yang melandasi konsep pembangunan di Indonesia
yang lebih didominasi oleh pandangan positivistik.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa landasan ontologis memberikan dasar yang
fundamental terhadap konsistensi pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan.
I.
Kaitan
Epistemologi dengan Disiplin-disiplin Ilmu
Epistemologi
merupakan dimensi filsafat yang mempelajari asal mula, sumber, manfaat, dan
sahihnya pengetahuan. Epistemologi merupakan cara mempelajari, mengembangkan,
dan memanfaatkan ilmu bagi kemaslahatan manusia.
Epistimologi
menjadi dasar pijakan dalam memberikan legitimasi bagi suatu ilmu pengetahuan
untuk diakui sebagai disiplin ilmu, dan memberikan keabsahan disiplin ilmu
tertentu. dengan demikian epistemologi juga memberi kerangka acuan terhadap
pengembangan ilmu peengetahuan.
J.
Kaitan
Aksiologi dengan Disiplin-disiplin Ilmu
Aksiologi
adalah ilmu yang mengkaji tentang nilai-nilai. Aksiologi (teori tentang nilai)
sebagai filsafat yang membahas apa kegunaan ilmu pengetahuan bagi manusia.
Ilmu
harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Dalam hal ini,
ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup
manusia dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan kelestarian
atau keseimbangan alam.
Untuk
kepentingan manusia tersebut pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan disusun
dipergunakan secara komunal dan universal. Komunal berarti ilmu merupakan
pengetahuan yang menjadi milik bersama, sehingga setiap orang berhak
memanfaatkan ilmu menurut kebutuhannya. Universal berarti bahwa ilmu tidak
mempunyai konotasi ras, ideologi, atau agama.
Perkembangan
ilmu pengetahuan melahirkan berbagai macam dampaknya terhadap kehidupan manusia
dan lingkungannya, di satu sisi dia mampu membantu dan meringankan beban
manusia, namun di sisi lain dia juga mempunyai andil dalam menghancurkan
nilai-nilai kemanusiaan, bahkan eksistensi itu sendiri. Ilmu barat yang
bercorak sekuler dibangun di atas filsafat materialistisme, naturalisme dan
eksistensialisme melahirkan ilmu pengetahuan yang jauh dari nilai-nilai
spiritual, moral, dan etika.
Aksiologi
menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan, Bagaimana
kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral. Bagaimana
penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral. Bagaimana kaitan antara teknik prosedural
yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral.
DAFTAR PUSTAKA
http://kunt34.blogspot.com/2010/12/dimensi-ontologis-ilmu.html
ttp://gagasanhukum.wordpress.com/2011/03/07/filsafat-hukum-dalam-kajian-aspek-ontologi-epistomologi-dan-aksiologi-bagian-ii/
ttp://gagasanhukum.wordpress.com/2011/03/07/filsafat-hukum-dalam-kajian-aspek-ontologi-epistomologi-dan-aksiologi-bagian-ii/
http://kecoaxus.tripod.com/filsafat/pengfil.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar